Sabtu, 13 November 2010

istilah penting 3 negara

B. Tiga Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis
Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph Schoenman, ketika seseorang berusaha untuk menguji asal usul, sejarah dan dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebutkan Yahudi), mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan ancaman. Apa yang ditulis Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah korban tidak langsung yang membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel). Namun demikian, pelajaran tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman adalah, sebauh gambaran tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi tentang Yahudi.
Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur.
Problem mendasar yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi dalam berbagai aspek adalah inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada umumnya, penggunaan terminologi Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai kata ganti untuk menyebutkan Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk melihat problem Israel-Palestina secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini harus dapat dibedakan. Pembedaan tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan memaparkan: pertama, Israel merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi, namun bukan berarti agama lain tidak tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll menyebutkan, komposisi umat Islam di negara Israel mencapai 10% pada akhir tahun 1960-an dan mereka menerima eksistensi muslim sebagai minoritas dengan sedikit tanda-tanda aktivisme Islam atau penegasan keyakinan Islam di depan umum. Perang Arab-Israel pada 1967 mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah West Bank milik Jordania dan wilayah lain yang secara substansial berpenduduk muslim, yang kemudian menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan komunitas muslim yang lebih luas yang dapat memberikannya perasaan identitas yang lebih besar.
Kedua, identitas Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa Israel, namun terminologi ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis untuk membedakannya dengan konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan Israel sebagai identitas yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan oleh Law of Return Israel: “setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi berhak untuk tinggal di Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara Israel. Alih-alih, al Qur’ān sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah “bani Israel” kepada kaum nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.
Ketiga, isme yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan suatu faham; ajaran; cita-cita; sistem; ataupun sikap, sebagai salah satu kelompok yang muncul dari kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh jadi terambil dari kata Sion yang “legitimasinya” dapat ditemukan dalam kitab Suci Yahudi. Karen Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya. Oleh karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti yang dituliskan Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis dengan istilah-istilah yang paling ekstrim.
Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel, Yahudi, dan Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah menunjukkan perbedaan dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga istilah tersebut. Harus diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan pekerjaan yang sulit karena berbagai dasar dan argumentasi yang justru mempersamakan ketiganya. Namun demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari setiap analisis yang dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.